Media-media yang selama ini bermusuhan terhadap umat Islam berusaha
mereduksi peristiwa yang menimpa umat Islam di Tolikara, Wamena-Papua,
sebagai konflik atau kerusuhan. Padahal yang sesungguhnya terjadi adalah
aksi teror atau penyerangan yang dilakukan ratusan jemaat Gereja Injili
Di Indonesia (GIDI), yang bekerjasama dengan Zionis-Israel, terhadap
jamaah sholat Iedul Fitri yang tengah sholat ied di lapangan setempat.
Konflik atau kerusuhan adalah istilah yang memiliki pengertian jika ada
ketidaksesuaian atau selisih paham atau persengketaan antara dua
kelompok. Sedangkan yang terjadi di Tolikara bukan perselisihan, karena
umat Islam yang tidak tahu apa-apa, yang tengah melakukan ibadah sholat,
diserang oleh ratusan jemaat Gereja Injili (17/7). Jelas, ini sangat
beda secara substansi.
Satu lagi, dalam berbagai pemberitaan, sayangnya ini diikuti oleh
media-media Islam yang kurang peka atau wartawannya kurang wawasan
tentang etimologis, disebutkan jika yang dibakar adalah mushola. Padahal
yang sesungguhnya terjadi yang dibakar (bukan terbakar) adalah Masjid,
bernama Baitul Muttaqin, yang berada di Karubaga, Tolikara.
Ratusan kios dan rumah yang dibakar teroris Gereja Injili juga bukan
terbakar atau kebakaran. Ini juga beda. Dibakar tentu beda dengan
terbakar atau kebakaran.
Dan soal korban 11 orang yang ditembak polisi, itu jelas bukan
korban, tapi teroris. Kesebelas orang, anggota jemaat Gereja Injili,
yang ditembak polisi di bagian pinggang dan kaki, adalah sebagian dari
pada teroris atau pelakuk teror yang bergerak menyerang jamaah sholat
Ied di Tolikara. Aparat negara menembak mereka setelah melepaskan
tembakan peringatan ke udara. Namun karena tembakan peringatan tidak
dihiraukan, malah para penyerang berusaha terus merangsek dan
membahayakan nyawa polisi maupun umat Islam yang tengah sholat, maka
dengan sangat terpaksa, laras senjata polisi di arahkan ke bagian bawah
pinggang sebagai terapi kejut untuk bisa menghentikan aksi teror mereka.
Bukan untuk membunuh.
Media seharusnya menjadi salah satu pilar demokrasi. Yang mengabarkan
kebenaran. Media berbeda dengan corong propaganda. Maka sekarang kita
bisa melihat, jika ada media yang mengabarkan soal aksi teror jemaat
Gereja Injili terhadap jamaah sholat Ied di Tolikara sebagai kerusuhan,
rusuh, atau konflik, maka media itu sesungguhnya tidak netral karena
berusaha mereduksi fakta yang ada.
Dan kepada media-media Islam, pergunakanlah kata-kata atau istilah
yang tepat, yang menggambarkan fakta yang sebenar-benarnya. Ingat,
perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata. Cerdaslah dalam menulis.(rz)
0 Komentar